Iklan
ACEH SINGKIL - Di sudut barat Provinsi Aceh, antara hamparan rawa Singkil dan perbukitan Subulussalam, aroma rempah dan daun lancing sesekali menyeruak dari dapur-dapur rumah panggung masyarakat.
Aroma itu berasal dari nakan lancing, kuliner tradisional Suku Singkil yang diwariskan sejak ratusan tahun lalu.
Di tengah arus modernisasi kuliner, makanan ini tetap bertahan sebagai simbol identitas, kehangatan keluarga, dan ritual pemulihan tubuh bagi kaum perempuan.
Di Singkil, nama nakan lancing bukan sekadar hidangan, tetapi kisah panjang tentang cara masyarakat memahami tubuh, tradisi, dan kesehatan.
Ketika tim Ekspedisi Sungai Singkil tiba di Kota Subulussalam, Jumat, 14 November 2024, mereka disambut oleh masyarakat setempat dengan menu unik yang hanya bisa ditemui di dapur orang Singkil dan Subulussalam.
Salah satu yang menyambut adalah Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Subulussalam, Habibuddin, seorang tokoh adat yang masih menjaga kuat pengetahuan kuliner warisan leluhur itu.
“Nakan lancing ini sehat bagi tubuh. Bukan hanya untuk perempuan, tapi juga laki-laki,” kata Habibuddin sembari memperlihatkan bahan-bahan alami yang telah disiapkan untuk dimasak. Namun, ia mengakui kuliner ini identik dengan perempuan yang baru melahirkan.
Menurut kepercayaan masyarakat Singkil–Subulussalam, melahirkan adalah proses yang menguras tenaga dan menggoyahkan keseimbangan tubuh perempuan.
Mereka percaya bahwa otot, urat, hingga saraf berpindah atau bergeser akibat beban persalinan yang berat. Dari keyakinan itu, nakan lancing kemudian hadir sebagai makanan pemulihan. Rasanya lembut, hangat, dan menenangkan.
“Dengan mengkonsumsinya, tubuh perempuan dianggap lebih kuat, otot dan sendi kembali ke posisi awal, serta tubuh terasa lebih hangat,” ujar Habibuddin.
Rasa yang Menjaga Tradisi
Nakan lancing disiapkan dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Daun lancing yang menjadi ciri utama hidangan ini dipadukan dengan beras ketan, lada hitam, merica, garam, kunyit, dan kelapa atau santan.
Komposisi bahan itu menciptakan rasa gurih-hangat yang khas, mengingatkan pada masakan para ninik-mamak (orang tua terdahulu) yang mengutamakan alam sebagai sumber kesehatan.
Proses memasaknya pun melibatkan kebersamaan. Seringkali para perempuan berkumpul di dapur, saling berbagi cerita sambil mengaduk perlahan isi kuali besar.
Tradisi inilah yang membuat nakan lancing bukan hanya makanan, melainkan ruang temu budaya dan pengikat keluarga.
“Setiap rumah punya rasa yang berbeda, tapi tetap membawa rasa rumah,” kata seorang warga setempat yang hadir saat kegiatan berlangsung.
Menghadapi Arus Zaman
Meski hidangan ini sarat makna, dalam beberapa tahun terakhir perhatian terhadap kuliner tradisional mulai tergerus.
Rutinitas modern membuat generasi muda jarang mengenali proses pembuatan makanan tradisional yang membutuhkan waktu dan kesabaran. Namun, upaya pelestarian mulai kembali menguat.
Dalam kegiatan Ekspedisi Sungai Singkil, para pelajar diperkenalkan kembali pada teknik pembuatan dan filosofi di balik nakan lancing.
Banyak dari mereka baru pertama kali melihat langsung daun lancing yang selama ini hanya mereka dengar dari nenek atau ibu mereka.
Kegiatan itu menjadi cara untuk merajut kembali hubungan generasi muda dengan budaya kuliner yang hampir terlewatkan.
Lebih dari Sekadar Makanan
Dalam tradisi Suku Singkil–Subulussalam, sebuah makanan bukan hanya untuk mengenyangkan perut.
Ia adalah pesan leluhur, pengingat tentang bagaimana orang dulu memahami alam dan hubungan manusia dengan kesehatannya.
Nakan lancing adalah bentuk pengetahuan lokal yang bertahan dari satu generasi ke generasi lain tanpa catatan tertulis—hanya melalui ingatan dan kebiasaan.
Di banyak rumah, hidangan ini masih menjadi menu wajib ketika seorang ibu selesai melahirkan.
Bukan sekadar ritual, tetapi sebagai simbol perhatian dan dukungan keluarga kepada perempuan yang baru melewati masa penting dalam hidupnya. Suapan demi suapan menjadi doa agar sang ibu kembali pulih, kuat, dan sehat.
Menjaga Warisan di Masa Depan
Pertanyaannya kini: apakah generasi muda akan tetap mengenal nakan lancing lima hingga sepuluh tahun mendatang?
Habibuddin dan tokoh adat lainnya optimistis. Dengan semakin banyaknya kegiatan edukasi budaya dan pengenalan kuliner tradisional di sekolah dan komunitas, mereka percaya nakan lancing akan tetap hidup.
“Kita ingin anak-anak tahu bahwa makanan ini bukan sekadar makanan. Ini identitas,” kata Habibuddin.
Di tengah dunia yang terus berubah, nakan lancing tetap menjadi penanda arah. Ia mengikat masa lalu, menghangatkan masa kini, dan memberi jejak bagi masa depan budaya Singkil–Subulussalam.
Di setiap racikan rempah dan daun lancing, tersimpan cerita panjang tentang siapa mereka dan bagaimana mereka bertahan.

Tutup Iklan